Kamis, 04 Agustus 2011

AM Hendropriyono: Monopoli Film Asing Harus Diperangi


Penonton bioskop sedang antri tiket.

Masih ingatkah Anda ketika untuk pertama kalinya film asing populer asal Hollywood, AS, Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 kembali menyapa Anda pada Jumat (29/7/2011)? Sekilas memang tidak ada kejanggalan berarti, terutama semenjak pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI memastikan penayangan film tersebut beberapa hari sebelum rilis perdananya.
Pokoknya mereka sekarang sudah mengaku. Makanya kalian baca koran biar kritis.

Dalam sebuah jumpa pers dan diskusi mengenai "Monopoli Impor dan Distribusi Film Asing"—khususnya film Hollywood distribusi Motion Picture Associations (MPA) yang memicu kisruh penghentian masuknya film-film tersebut ke bioskop dalam negeri—di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (3/8/2011) malam, terungkap sebuah pengakuan sekaligus penegasan bahwa distribusi film asing di Tanah Air sudah sampai pada taraf membahayakan karena dimonopoli satu kelompok tertentu.

Adalah AM Hendropriyono, Komisaris Utama Blitz Megaplex; Ram Punjabi selaku produser film Tanah Air; dan Ilham Bintang yang seorang pemerhati film, dengan kompak menyatakan hal tersebut.

Ketiganya secara tegas menyebutkan bahwa telah terjadi monopoli terkait peredaran film asing yang memicu perusakan pasar film di dalam negeri dan hal itu patut diperangi. "Pokoknya mereka sekarang sudah mengaku. Makanya kalian baca koran biar kritis," papar Hendro di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu.

Siapa sih mereka yang disebut sang pemonopoli distribusi film asing? Telisik punya usut, film terakhir penutup sekuel Harry Potter tersebut bisa masuk pasar Indonesia karena perjuangan PT Omega Film.

"Namun, pertanyaan yang kembali muncul, berapa banyak gedung bioskop yang dimiliki oleh Omega (PT Omega Film). Itu saja yang perlu dipikirkan, apakah ada hubungan atau tidak, itu saja," tanya Ram kemudian.

PT Omega Film berdiri sejak Januari 2011 tepat di saat kisruh distribusi film asing MPA mulai merebak, yang dilanjutkan penghentian ekspor film asing MPA tersebut ke Indonesia. Penghentian terjadi lantaran tiga pengimpor film asing raksasa Tanah Air—kebetulan kesemuanya mengimpor film dari MPA—dibekukan oleh Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI karena mengemplang pajak royalti berdasarkan Peraturan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dari Hasil Karya Sinematografi yang berlaku sejak Kamis (4/6/2009).

Peraturan tersebut menerapkan pajak royalti terhadap aktivitas yang berhubungan dengan hasil karya sinematografi, termasuk pendapatan hasil distribusi film, lengkap dengan pembagian besarannya berdasarkan negara. MPA yang terdiri dari empat anggota, yakni Twentieth Century Fox, Warner Brothers, Disney, dan Columbia/Sony dikenai pajak royalti sebesar 15 persen dari 10 persen penghasilan (1,5 persen dari penghasilan).

Memasuki awal tahun 2011, Dirjen Bea dan Cukai mengumumkan bahwa tiga besar pengimpor film asing MPA tersebut telah mengemplang pajak dengan nilai tunggakan sekitar Rp 31 miliar.

Lebih parahnya, ketiga perusahaan pengimpor ini—yang ditengarai milik Kelompok 21 karena tiga besar pengimpor film asing dimiliki Kelompok 21—masih menunggu tekanan lebih dahsyat Dirjen Bea dan Cukai agar mereka bayar pajak. Mereka diwajibkan membayar pajak sebelum jatuh tempo pada 12 Maret 2011 bila tidak akan terkena denda sebesar 10 kali lipat nilai tunggakan, dari Rp 31 miliar menjadi Rp 310 miliar. Maka dari itu, tergeraklah satu dari tiga perusahaan tersebut membayar Rp 9 miliar tunggakan dan mengajukan banding. Setelah itu, tersisa dua lainnya yang berutang sampai sekarang.

"Mungkin karena mereka sudah terdesak, akhirnya enggak tahu mau ngomong lagi. Ngaku deh," ucap Hendro.

Beberapa saat lalu memang tersiar kabar mengejutkan. Tri Rudi Anitio, Komisaris PT Camilla Internusa Film, pengimpor besar dari Kelompok 21, sempat mengatakan bahwa Syaiful Atim, pendiri PT Omega Film, merupakan pegawai lama Kelompok 21. Dia bekerja di perusahaan pemilik jaringan bioskop terbesar se-Indonesia itu dari menjadi sopir pribadi hingga staf di bagian umum (Kompas, 28 Juni 2011).

Mereka bertiga berharap, penegasan tersebut bisa menjadi senjata untuk menjauhkan distribusi film asing di Tanah Air dari monopoli. "Ini merupakan suatu kejanggalan, suatu kesalahan. Kekuatan pers itu absolut, dan satu-satunya yang bisa menjadi pengingat. Untuk problem ini, kita harus bersatu mencari solusi," sambut Ram.

Langkah "perlawanan" pun akhirnya dipilih Hendro, Ram, dan Ilham, menyusul dugaan kuat adanya monopolistis impor film dan bioskop, yakni dengan membangun perusahaan tandingan Kelompok 21. Dalam kesempatan tersebut, ketiganya resmi membentuk perusahaan baru yang diberi nama PT Sinar Surya Sinema.

Hendro mengatakan, PT Sinar Surya Sinema saat ini dalam masa pengurusan perizinan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Perdagangan, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Pihaknya menargetkan, dalam satu bulan, seluruh administrasi rampung. "Habis Lebaran mudah-mudahan bisa beroperasi. Tugas awal kami adalah mempersiapkan penambahan jaringan bioskop Blitz," ungkapnya.

(sumber:kompas.com)

Tidak ada komentar: