Selasa, 09 November 2010

MENYONGSONG MUBES VII GPBSI

Tanpa tersasa kita telah berada di dalam dasawarsa pertama abad ke XXI, dan sedang bersiap-siap memasuki dasawarsa kedua millennium kedua.

Kalau kita memperhatikan apa yang diucapkan oleh Alvin Toffler pada menjelang akhir abad ke-XX melalui Third Wave (gelombang ketiga) di mana ia mengatakan, upaya manusia beroleh kemudahan dan kesejahteraan hidup melalui revolusi sudah mengalami 2 gelombang besar, yaitu:

1.
Revolusi ‘cangkul’ yang terjadi 10.000 tahun sebelum abad ke XIX;
2.
Revolusi ‘cerobong asap’ yang berlangsung selama 300 tahun dimulai dari abad ke XIX.

Dengan kata lain, pada awal abad XXI inilah revolusi ketiga, atau gelombang ketiga yang disebut Alvin Toffler dimulai. Revolusi apa itu?

REVOLUSI TEKNOLOGI INFORMASI

Buat mereka yang waspada, seperti AS, China, Jepang dan India. Maka persiapan matang telah dimulai sejak buku Third Wave itu terbit.
Persiapan apa?

1.
Amerika Serikat
Mempersiapkan diri menekuni teknologi informasi dengan perangkat serta sarana yang sophisticated, yang disebut hardware, yaitu:

a. Menciptakan peralatan baru bernama electronics cinema yang peralatannya serba ringan dan canggih, berciri kemudahan hand-held;

b. Menciptakan video tape yang bisa dikemas dalam cassette, meningkat ke disc, dan terakhir cartridge yang tidak mudah dibajak;

c. Jaringan internet bernama My-Space untuk mempersiapkan ‘surat-kabar’ memasuki era electronics news paper;

d. Memperbesar jaringan bioskop yang diperkirakan pada awal abad ke-XXI sudah mampu mengubah teknologi yang berbasis piranti mekanik bernama sinematografi ke piranti elektronik berbasis videografi;

e. Menyiapkan pasokan yang disebut software secara murah dan berlimpah buat keperluan era teknologi informasi itu dengan membiarkan perusahaan Jepang yang berdomisili di AS mengambil alih mayoritas saham perusahaan industri film Hollywood, serta membiarkan perusahaan Sony Jepang mengembangkan serta mempersiapkan teknologi HDTV (high definition television) yang kini sudah sampai pada tahap HDMi (High Definition Media interface) HDMi;

2. Republik Rakyat China
Sejak memasuki dasawarsa 1980an, RRC telah mempersiapkan diri mengembang teknologi Informasi, kemudian secara bertahap melanjutkan dengan :

a. Awal dasawarsa 1990an meng-copy teknologi gaya AS untuk menggandakan video.

b. Mempertahankan bioskop dan bioskop keliling tetap hidup, demi memasuki era informasi teknologi tanpa harus membangun jaringan baru yang biaya pembangunannya lebih mahal daripada mensubsidi yang masih ada selama satu atau dua dasawarsa ke depan.

3. India
Mempertahankan jumlah bioskop dan industri film bukan karena mereka ‘telat mikir’ atau ‘gagap teknologi’, tapi justru mereka menyadari benar bersamaan dengan perkembangan electronics cinema, industri film dan bioskop harus at all cost dan simultaneously diperhatankan karena pada saatnya nanti sarana ini lebih mudah dialih teknologikan ke electronics cinema dengan hanya mengganti peralatan dasar dari sinematografi ke videografi.

4. Jepang
Mengembangkan High Definition Television (HDTV)
dan electronics camera yang memiliki kemampuan merekam gambar dan suara lebih sempurna dari camera mekanik, serta bisa ditayangkan melalui electronics projector ke layar selebar 6 x 9 meter dengan kualitas gambar lebih terang, jernih dan tajam dibanding hasil sorotan film 16 mm melalui proyector mekanik biasa, pengembangan teknologi sound system dari stereo phonics analog ke digital stereo-surround.

5.
Indonesia
Pada akhir dasawarsa 1970an, Mochtar Lubis diundang oleh perusahaan electronics Jepang milik ‘SONY’, kemudian mengabarkan kepada kita—khususnya masyarakat perfilman Indonesia—bahwa di depan mata kita sedang menghadapi era teknologi baru yang disebut ‘electronics’.


a.
Dari informasi itu Drs. Asrul Sani dan saya minta kepada Menteri Penerangan, bapak Ali Moertopo untuk mengirim tim kecil ke Jepang guna mengamati perkembangan teknologi yang disebut oleh Mochtar Lubis, agar dengan cermat kita bisa mempersiapkan diri.

b.
Menjelang akhir tahun 1982, Drs. Asrul Sani (Ketua Dewan Harian Dewan Film Nasional), M. Johan Tjasmadi (Sekretaris Komisi Ekonomi Dewan Film Nasional), Ir. Nurhadi (dari Direktorat Televisi Ditjen Radio-Televisi-Film), Drs. Narto Erawan Dhalimarta (dari Direktorat Film Ditjen Radio-Televisi-Film) diutus ke Jepang dan meninjau secara teliti perusahaan elektronik ‘SONY’.

c.
Di sana kami melihat para ahli sedang mengembangkan teknologi baru dari televisi berwarna menuju ke High Definition Television (HDTV) disamping mengemangkan piranti penggandaan yang sekali tekan tombol ratusan copy dapat digandakan dari satu master dengan hasil gambar dan suara lebih terang, jernih dan tajam dibanding hasil rekaman film 16 mm melalui cara penggandaan konvensional.

d.
Sepulang dari Jepang, Drs. Asrul Sani dan saya menyiapkan laporan rinci sampai tiangkat teknis dalam bentuk project proposal dilampiri feasibility study tentang MENYONGSONG ERA ELECTRONICS CINEMA ABAD ke-XXI, di mana - pertunjukkan film di bioskop bisa didahului oleh berita daerah, nasional dan dunia menurut jam pertunjukkan - dengan cukup jelas dan rinci buat Menteri Penerangan RI, Bapak Ali Moertopo.

TERGERUS KEPENTINGAN

Kondisi politik di Indonesia mengalami perubahan cukup mendasar. Pada kabinet baru masa bhakti 1982-1087, Presiden Soeharto menunjuk bapak Harmoko sebagai Menteri Penerangan menggantikan bapak Ali Moertopo. Sementara Direktur Jenderal RTF, Drs. Subrata lebih memperhatikan kepentingan TVRI yang dikelola oleh Deppen daripada perfilman dan perbioskopan yang dikelola oleh swasta. Feasibility Study perbioskopan yang mempersiapkan konsep menjangkau Nusantara dianggap isapan jempol. Sebab electonics cinema dianggap bakal menjadi saingan TVRI—yang itu waktu belum boleh menerima iklan—dibiarkan menghadapi era informasi tanpa persiapan matang. Padahal menurut Tanaka, salah seorang ahli di pabrik Sony, buat Indonesia yang memiliki lebih dari 13.000 pulau-pulau dihuni penduduk sangat membutuhkan pola elektronics cinema yang jauh lebih murah biaya peredaran dan pertunjukkannya, sekaligus menjangkau seluruh wilayah dalam waktu yang hampir bersamaan. Semakin maju dan berkembang teknologi electronics cinema, semakin bermanfaat buat Indonesia.

BIOSKOP BERKEMBANG TANPA BAPAK DAN TANPA PAMAN

Memasuki era gonjang-ganjing, di mana masyarakat kepincut era baru televisi berwarna yang semakin sempurna kualtias gambar dan suara. GPBSI masih tetap bekerja keras bersama anggota-anggotanya di seluruh wilayah Nusantara. Maka lahirlah pada awal paruh kedua dasawarsa 1980an tatanan baru bioskop di Indonesia bernama CinemaComplex (Cineplex), sebuah konsep baru pengembangan perusahaan bioskop meng-copy gaya AS.

Pra Cineplex memang sudah lahir Twin Cinema di Tunjungan Surabaya, menyusul Twin Cinema di Monas Jakarta. Tapi yang benar-benar mengikuti konsep Cineplex gaya AS adalah Kartika Chandara Theater. Itupun baru berupa pioneering project dengan membelah satu gedung menjadi dua studio.

Berkat dukungan masyarakat penggemar bioskop (moviegoers maupun cinema fans), berdirilah kelompok 21 yang mulai mengembangkan usaha bioskop gaya baru yang didukung oleh pasokan film melalui sebuah circuit 21 Group, dimulai di Jl. M.H. Thamrin Kav. No. 21 yang bernama Studio 21.

Sementara itu, untuk menjaga agar film Indonesia tetap menjadi buah bibir masyarakat, Dewan Film Nasional (DFN) membujuk Pemerintah bersedia membiayai penyelenggaraan Festival Film Indonesia 1986-1992 untuk dijadikan ajang promosi film Indonesia baik di dalam maupun di mancanegara, serta mempertahankan kehormatan Film Indonesia, sekurang-kurangnya penghargaan karya cipta terbaik melalui piala Citra.

Oleh karena itu, kendati terseok-seok satu dua produser masih punya semangat membuat film Indonesia sekalipun dalam jumlah yang sangat minim setiap tahunnya. PT Peredaran Film Indonesia (PT Perfin) dimanfaatkan buat menagih screen time quota film produksi lokal demi mempertahankan eksistensinya sebagai outlet bagi proudksi film Indonesia. Waktu itu jumlah layar bioskop di Indonesia mencapai 3.048 layar (1990).

Selain daripada itu, bioskop-bioskop keliling juga subur mengembangkan usaha mereka guna memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat pedesaan dengan cara yang murah-meriah.

LAST BUT NOT LEAST

Pada penutupan Sidang DPR-RI tahun 1986, sebagai anggota MPR-RI, saya berkebetulan duduk di belakang Menteri Dalam Negeri, bapak Rudini. Ketika menoleh kebelakang dan melihat saya. Beliau memberi tahu.

“Proposal saudara John sudah saya baca. Dan sebagai penghargaan, Departemen Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri yang menetapkan Pajak Tontonan Bioskop serendah-rendahnya 10% dan setinggi-tinggnya 25%. Saya tahu ini belum memenuhi harapan saudara dan teman-teman pengusaha bioskop. Setidak-tidaknya langkah pertama sudah saya buka. Selanjutnya saudara John perjuangkan melalui Pemerintah Daerah, dan bisa juga minta kepada Menteri Dalam Negeri yang baru agar dikeluarkan anjuran penurunan Pajak Tontonan yang ideal antara 5% terendah dan tertinggi 15%.”

Sungguh sebuah kenang-kenangan yang manis yang GPBSI terima dari Mendagri, bapak Rudini yang tidak bisa dilupakan hingga saat ini.

Berkebetulan Faisal Rachmat (anggota PAFRI dan PPFI), memperkenalkan saya dengan Menteri Dalam Negeri yang baru, bapak Yogi S. Memed. Dari perkenalan itu saya teringat pada pesan pak Rudini. Saya membuat proposal baru dan secara resmi GPBSI menyampaikan permohonan peninjauan ulang kebijakan menetapkan tarif pajak hiburan kepada Menteri Dalam Negeri.

Alhamdulillah 6 bulan setelah itu pak Memed mengeluarkan SK Mendagri yang menetapkan pajak tonton bioskop serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%, sehingga menghasilkan kemajuan bioskop dan film Indonesia seperti ditampilkan pada beberapa tabel diatas.

Setelah keluar Sk. Mendagri, tentu GPBSI Jakarta, menyusul GPBSI Jawa Barat, khususnya oleh kota Bandung serta GPBSI Jawa Tengah (Semarang) yang meliputi Jawa Tengah dan DI Yogjakarta memperjuangkan penurun tarif pajak hiburan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan secara berangsur pajak hiburan di Jakarta menurun sampai pada tingkat 15%, sedang Jawa Barat, kota Bandung berlaku pajak hiburan 10% dari harga tanda masuk (HTM). Menyusul berlaku tarif yang sama di Jawa Tengah (Semarang) dan Jawa Timur (Surabaya).

Kenapa tarif pajak hiburan harus turun? Karena sesungguhnya biaya eksploitasi bioskop terus menerus meningkat. Sejak dari tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), listrik, dan sebagainya. Ditambah upah karyawan juga harus selalu disesuaian dengan biaya hidup minimum. Sementara Harga tanda masuk bioskop sangat sulit dinaikan, mengingat menonton bioskop bukan kebutuhan premiere.

Keadaan semacam itu bukan monopoli zaman Orde Baru, bahkan untuk dewasa ini kondisi usaha di bidang industri hiburan, khususnya film dan bioskop perlu mendapat perhatian yang lebih besar, dan keringan pajak hiburan yang lebih produktif bagi mempertahankan salah satu sektor dari industri kreatif yang sedang digalakkan oleh pemerintah.

Manfaat dari penurunan pajak hiburan secara statistik dapat dibuktikan sbb.:

1986 66 JUDUL 180 JUDUL 1.654 LAYAR

1987 54 JUDUL 180 JUDUL 1.705 LAYAR

1988 84 JUDUL 180 JUDUL 2.215 LAYAR

1989 105 JUDUL 170 JUDUL 2.850 LAYAR

Dengan keputusan itu, meskipun tidak segera dapat terwujud, tapi secara bertahap benar-benar dapat meringankan beban para pengusaha bioskop, oleh karena itu Indonesia dapat mengembangkan cinema complex dengan baik, dan pada tahun 1990 bisa mencapai 3.048 layar, seiring dengan berkembangnya era televisi berwarna, kendatipun parabola, rekaman video dalam bentuk video cassette sudah berkembang ke video disc yang memungkinkan kualitas gambar di layar kaca (television unit) semakin bagus.

Dalam kondisi yang semacam itu, tentu saja jumlah penonton bioskop terganggu secara signifikan. Tapi sebetulnya itu bukan gangguan permanen, tetapi gangguan semusim yang pada saatnya penonton bioskop pasti akan kembali duduk di ruang gelap dan menikmati karya film tanpa gangguan dari orang sekitarnya.


Sebetulnya kalau semua pihak dalam industri hiburan audio-visual bersatu-padu, apalaig saling mendukung secara gotong-royong. Terutama menjauhkan rasa saling curiga-mencurigai. Mestinya industri hiburan audio-visual tidak perlu mengalami kemerosotan yang terlalu terjal.

Semestinya pada tahun 1991 posisi film Indonesia sudah sudah mencapai kondisi yang boleh dibilang cukup ideal. Tabel berikut dapat menunjukkan kondisi obyektif yang semestinya menjadi kebanggan bersama.




GPBSI MENGHADAPI ERA BARU

Menjelang akhir tahun 1990, tib-tiba Irak menyerang Kuwait yang membawa dampak goncangan ekonomi yang menyebabkan bunga deposito di Indonesia yang semula berkisar antara 9-12% mendadak melompat menjadi 18-24%. Kondisi perbioskopan dan produksi film dalam negeri mengalami goncangan yang cukup hebat. Memang Perang Badai atau Dessert Storm berhenti pada triwulan pertama tahun 1991. Tapi bersamaan dengan itu stasiun televisi (RCTI) mulai menanggalkan decoder, menyusul pada tahun 1992 disamping TVRI dan RCTI berturut-turut lahir stasiun televisi swasta Indosiar, TPI, SCTV, ANTV.

Menghadapi perkembangan teknologi informasi tahap awal, mulai pula video cassette bertukar bentuk menjadi video disc yang lebih bagus kualitas rekamannya. Peralatan elektronik di bidang audio maupun audio visual pun menjadi semakin canggih.

Bertambahnya stasiun televisi swasta yang secara tiba-tiba bermunculan, tidak disertai persiapan bagaimana cara memasok maeri siaran yang memadai. Produser film Indonesia mulai berhijrah ke rumah produksi (production house) untuk memenuhi kebutuhan pasokan untuk acara stasiun televisi tanpa mengerti benar perbedaan antara film-bioskop dan film-televisi. Akibatnya produksi film untuk bioskop menurun dengan drastis. Sementara perkembangan teknologi informatika semakin meningkat, termasuk diantaranya teknologi parabola, internet dengan fasilitas modem maupun Wifi.




Melihat kondisi yang semacam itu semestinya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersyukur. Sebab ketika pemerintah sedang sibuk merapikan ekonomi makro untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global yang mengalami krisis—termasuk krisis moneter di tahun 1991, 1998 pada puncaknya—masih berlanjut pada krisis global 2007. Perusahaan film dengan swadaya mulai menggeliat pada tahun 2000 ditandai dengan film Petualangan Sherina, berlanjut dengan Jelangkung, terus berkembang hingga film-film bernuansa Islam: Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi hingga Ketika Cinta Bertasbih.

Kendatipun Pemerintah Pusat mulai menyelenggarakan FFI sejak 2004 sampai terakhir 2009. Tapi pengaruh terhadap keluaran film Indonesia sebetulnya belum begitu nyata. Yang pasti kepada film-film bernuansa Islam yang nyata-nyata berprestasi pemecah rekor box office film Indonesia tahun 2007, 2008, dan 2009 kurang mendapat perhatian dan penghargaan sebagaimana semestinya, padahal festival mancanegara justru memberi penghargan yang cukup tinggi dan membanggakan hati.

SAYANG, BADAI KEMBALI MENGHANTAM BIOSKOP DAN FILM INDONESIA

Pemerintah Daerah yang mengadakan pendekatan dengan masyarakat perfilman. Tanpa berkonstultasi pemerintah daerah tingkat provinsi tiba-tiba menyusun rancangan untuk menaikkan tarif pajak hiburan tanpa menyadari jenis hiburan itu sendiri punya sisi dan tujuan yang berbeda-beda.

· Hiburan murni

· Hiburan yang mengemban misi kultural edukatif, dan

·Pagelaran seni budaya yang mengandung misi ‘melestarikan moral dan budaya bangsa’.

Tanpa memperhatikan sisi-sisi kepentingan yang berbeda, maka rencana menaikkan tarif pajak hiburan yang kelihatannya sudah cukup membedakan satu kepentingan dengan kepentingan melalui penalaran yang tidak mendasar, menyebabkan timbulnya kegelisahan mereka yang bergerak di bidang industri hiburan. Padahal bidang usaha ini di satu sisi memperkaya kelengkapan daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara. Di sisi lain menyemarakkan civic & communication center bagi sesuatu daerah.

MERENUNG DAN MENCARI JALAN KELUAR

Itulah sebagian kecil dari masalah yang sedang dihadapi oleh perfilman nasional dewasa ini. Kalau masalah yang premiere ini tidak dapat kita carikan jalan keluar, bagaimana mungkin kita mampu menghadapi masa depan perfilman yang sudah pasti permasalahannya jauh lebih rumit lagi.

Kenapa? Karena diperkirakan pada awal tahun 2020, pasokan bioskop sudah tidak lagi melalui benda nyata seperti celluloid, video tape dalam kemasan cassette, disc atau cartridge. Tapi sudah dalam bentuk ‘maya’ atau melalui electronics supply via satellite. Selain daripada itu harga karcis dituntut lebih murah walau kualitas penyajiannya harus semakin bagus sebanding dengan negara-negara maju di dunia. Seyogyanya baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah memahami ini.

PENUTUP

Mudah-mudahan tulisan ini merangsang peserta Mubes GPBSI VII untuk berpikir secara visionary serta innovative.

Selamat bermusyawarah!

Jakarta, 24 Mei 2010

DEWAN PERTIMBANGAN ORGANISASI GPBSI

H.M. JOHAN TJASMADI

Tidak ada komentar: